"SUBAHANALLAH JASAMU TAK TERGANTIKAN IBU"
Sahabat, meski cobaan dan kesulitan hidup menghadang di hadapan mata, bersyukurlah selalu kepadaNya. Karena bersyukur akan membangun sikap positif, proaktif dan kreatif, seiring janji Allah kepada kita: Syukuri apa yang ada, maka nikmat pun akan ditambahNya… Termasuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang mengasuh anak-anak di rumah.
Tiga puluh menit menjelang pukul dua siang. Santi mulai merasa uring-uringan. Hafalan Quran tak kunjung menempel dalam ingatan meski sudah coba diulang-ulang sejak pagi. Padahal sebagai peserta kursus tahfidz, setoran dua halaman per hari adalah kewajiban. Dan entah mengapa Nida, Azzam dan Rifat tiba-tiba saja terasa jadi berulah. Berkelahi, menangis dan menguntitnya terus sepanjang pagi. Makan mau sama Ummi. Bikin teh manis maunya sama Ummi. Buka celana, mau pis, harus sama Ummi. Bahkan Nida yang sudah sekolah pun terus saja mengekor dan berkeras mau ikut Ummi.
“Ummi mau berangkat dulu ya sayang, Nida, Azzam dan dek Rifat sama Nenek.”
“Mau ikuuut! Nida mau ikut, Mi!”
“Nida temanin nenek, temanin adik Azzam dan Rifat...”
“Mau ikuuuuuutttt....”
“Nida, Ummi mau sekolah, mau belajar, tidak bisa bawa Nida. Sekarang Nida, Azzam dan Rifat sama nenek dulu, ya. Ummi berangkat ya, Ummi sudah hampir terlambat.” Santi mulai senewen. Alhamdulillah, ibunya dengan sigap berusaha membujuk anaknya itu.
“Pusing deh aku kalau anak-anak lagi rewel begitu. Apa-apa maunya sama Ummi, ke mana-mana maunya ikut Ummi, sampai gak bisa bergerak rasanya,”cerita Santi pada Dewi teman kursusnya siang itu.
Baca juga :
“Masih bagus Mbak, anak-anak nguntit Mbak, ibunya. Lha, sepupuku lagi sediiih sekali, soalnya anaknya gak dekat sama dia. Malah waktu khadimatnya pulang kampung, anaknya sampai nangis-nangis pengen ikut mbak-nya. Sepupuku shock banget deh... Kok anaknya lebih mau ikut pembantu daripada ikut dia.”
Santi terdiam. Kenapa hal itu tak pernah terpikir olehnya? Mengapa kerewelan dan kuntitan anaknya lebih dilihatnya sebagai sebuah hambatan dan keluhan daripada sebuah kenikmatan? Sementara banyak orang tak bisa berdekat-dekat dengan anak karena alasan kesibukan pekerjaan atau bahkan karena tak dikaruniai anak sama sekali. Santi pun segera merangkai istighfar.
Mengeluh akan kesulitan, hambatan, atau ketidakpurnaan memang rasanya jauh lebih mudah dilakukan ketimbang mensyukuri apa yang sudah kita terima dan kita capai. Sebab, harapan orang akan keberhasilan memang sedemikian tinggi sehingga kegagalan terasa lebih sulit untuk diterima. Padahal, kalau mau jujur, masih ada jauh lebih banyak kebaikan dan kenikmatan yang bisa kita temukan dalam keseharian, seberapapun beratnya kondisi kita hari itu.
Ambil saja pandangan terdekat, pada diri sendiri; mata yang mampu melihat luas, nafas yang lega, pendengaran yang tajam, mulut yang lancar mengalirkan kata, makan yang lahap, tidur yang nyenyak, berapa kita sanggup menilainya? Dan kapan kita terakhir mensyukuri nikmat sempurnanya tubuh dan sehatnya badan ini?
Bersyukur adalah sebuah penerimaan diri yang diiringi dengan penyelarasan terhadap harapan atau ambisi, jelas Leira Hevyta, Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia.
Ambillah contoh seseorang yang memiliki harapan mendapatkan 10 poin, lanjut Leira. Manakala dia hanya berhasil mencapai poin 8, seseorang yang pandai bersyukur akan menerima angka 8 itu dengan menyelaraskan harapan dan ambisinya, entah dikurangi standar ambisinya, direvisi cakupan targetnya atau dipikirkanlah olehnya bagaimana agar 8 itu bisa cukup memenuhi kebutuhannya.
Di samping itu, yang lebih penting lagi, sosok bersyukur bahkan mampu menerima kekurangan 2 poin itu meski ia berfokus pada angka 8. Sebaliknya, orang yang tak bersyukur akan berfokus pada kekurangan 2 poin sehingga kehadiran poin 8 dirasakannya sebagai tidak cukup.
“Inilah yang disebut sebagai positive thinking, bagaimana seseorang bisa melihat behind the story, ada kebaikan apa di balik ini semua,” kata Leira lagi.
Sebagai muslim, tentu saja konsep penerimaan dan positive thinking ini harus selalu dikaitkan pada segala nikmat dan takdir yang sudah ditentukan Allah. Sebab, apalah arti diri manusia yang sama sekali tak mampu mengatur dan menghidupi dirinya sendiri – apalagi orang lain – tanpa segala nikmat dan kasih sayang pemberian Allah.
“Pada dasarnya kita ini, manusia, kan makhluk penghambaan. Allah menciptakan kita dengan satu misi untuk menghamba hanya kepadaNya. Maka bersyukur atas segala nikmat yang diberi Allah merupakan satu lambang penghargaan dan ketundukan kita untuk mau menghamba kepada Allah,” papar Ustadz Sholahuddin M. Toha, Lc, dosen pada STID-DI (Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah – Dirosah Islamiyah) Al Hikmah, Jakarta.
Dengan arahan untuk selalu menerima dan positive thinking ini, apakah lantas untuk menjadi pribadi bersyukur tak boleh kecewa?
“Kekecewaan atau kesedihan tentu ada, tetapi sedikit dan tidak lama-lama mengendapnya. Karena dengan penerimaan tadi, dengan tetap mengedepankan positive thinking, dia mudah mencari the other side of story, sisi lain yang lebih baik dalam setiap masalah, bahkan mencari alternatif untuk mengatasi kekurangan bila kekurangan itu terasa sedemikian besar,” kata Leira.
Mampu mencari alternatif memang menjadi lanjutan sikap orang yang mampu bersyukur, sebab itu berarti dia mampu mengembangkan pikirannya dengan pola pikir mengembang (divergen) bukan pola pikir yang mengerucut (konvergen). Peluang menjadi nampak, menjadi mungkin dan bisa mendorong daya kreatif untuk mengatasi hambatan, kesulitan, kekurangan atau bahkan memunculkan sebuah hasil baru, kenikmatan baru.
Syukur dan sabar yang melekat
Dengan konsep penerimaan plus ini, jelas bahwa pribadi selalu bersyukur tak dapat disamakan dengan pribadi yang pasrah, sekedar nrimo.
“Penerimaan dalam syukur tak sama dengan pasrah. Karena penerimaan dalam syukur lebih dilandasi pada adanya positive thinking, penyelarasan pada harapan dan didukung kemampuan berfikir divergen, sehingga akan menghasilkan sebuah perilaku proaktif, bergerak dan kreatif. Sementara pasrah lebih pada sikap diam, menunggu dan tak berbuat apa-apa,” urai ibu satu anak kelahiran Rangkasbitung, 35 tahun lalu ini pula.
Sementara Ustadz Sholahuddin menjelaskan manakala konsep penghambaan, mengembalikan segala hal kepada penerimaan takdir Allah, dihayati setiap mukmin, maka syukur dan sabar tentulah lekat menjadi satu kesatuan dalam dirinya. Yaitu bersyukur dalam kenikmatan dan bersabar dalam kesulitan atau musibah.
Lebih lanjut, ayah enam anak ini lantas mencontohkan betapa Rasulullah Shalallaahu ‘alaihi wassalam pun sedih, bahkan menangis ketika anaknya, Ibrahim, meninggal dunia, namun beliau tetap meninggikan kesabaran dan penerimaan atas ketentuan Allah itu.
Bahkan, hakikat ketaatan manusia kepada Allah juga diukur dari kelekatan dua konsep sabar dan syukur ini, sebagaimana diungkap dalam surat Ibrahim : 5 yang berbunyi, “....Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” Maka saat ada perintah Allah, seorang mukmin akan selalu siap menerima dan menjalaninya, sementara saat ada larangan dia bersabar, menahan diri demi menjauhi larangan itu.
“Semakin taat seseorang, akan semakin bersyukurlah dia, sebagaimana Rasulullah yang terus beribadah, bahkan hingga kakinya bengkak, demi memanjangkan syukurnya kepada Allah,” sambungnya lagi.
Hambatan bersyukur
Tetapi mengapa bersyukur tak selalu mudah dilakukan, apalagi bila dalam kondisi kesulitan?
“Semua itu akan kembali pada hati, pada keyakinan, keimanan seseorang,” jawab Ustadz Sholahudin. “Kalau banyak maksiat, tak mau taat pada Allah, tentu tak bisa bersyukur atas apa-apa yang Allah berikan, Allah tetapkan.”
Tetapi bisa juga, tambah alumnus Universitas Internasional of Africa, Sudan ini lagi, karena ketidaktahuan orang tersebut akan makna dan cakupan syukur. Bahwa syukur tak hanya atas harta yang banyak atau badan yang sehat, atau tidak celaka, tetapi juga atas hidayah Allah pada diri kita, pada keislaman kita, pada terjaganya keimanan kita dari tergelincir menuju maksiat atau perilaku dosa.
Sementara dari sisi psikologis, Leira menyebutkan beberapa hal yang bisa menghambat seseorang untuk menjadi sosok bersyukur, di antaranya terlalu tinggi membuat target atau kerap mengukur dengan ukuran orang lain.
“Target yang sangat ideal, muluk, memang indah tetapi sulit dicapai. Maka, bila target yang terlalu tinggi yang dikejar, kemungkinan kecewanya juga menjadi tinggi.”
Apalagi bila kemudian ukurannya banyak mengambil dari orang lain yang bisa jadi parameter ambisinya, harapannya memang tidak sama dengan kondisi atau kemampuan kita.
“Saat kita mendapat nilai 8 tadi, misalnya, syukurilah dengan mengingat bahwa kita pernah dapat nilai 6, atau ada orang lain dapat nilai 6. Jangan mengukur dengan; kok si fulan bisa 10, berarti saya memang kurang, tidak hebat dibanding dia,” contoh Leira.
Tambah syukur, tambah kebaikan
Membiasakan diri selalu bersyukur akan memberikan banyak sekali dampak positip terhadap diri kita maupun lingkungan sekitar kita.
Pertama tentu saja kita ingat janji Allah yang akan menambah kucuran nikmatNya pada seorang hamba manakala sang hamba itu mau bersyukur. Entah itu berupa banyak rezeki, kemudahan mencari rezeki, tubuh yang sehat, anak yang banyak dan saleh, keberkahan hidup, dan banyak lagi.
Kedua, nyaman dengan dirinya alias percaya diri karena dia tak berfokus dan terbebani dengan kekukarangan-kekurangannya. Lewat syukur, seseorang tetap yakin dengan dirinya karena tahu bahwa disamping kekurangannya, dia tetap memiliki kelebihan yang banyak.
Ketiga, sosok yang banyak bersyukur akan mudah beradaptasi, menyesuaikan diri dengan lingkungan, karena bisa menghargai orang lain sebagaimana dia menghargai dirinya. Diapun tak suka merendahkan atau meremehkan orang lain karena memahami bahwa-sebagaimana dirinya- setiap orang memiliki kelebihan yang banyak disamping kekurangan dan keterbatasan mereka.
Tak heran bila sosok yang pandai bersyukur, dan banyak bersyukur, tak hanya baik secara pribadi namun dia juga menyenangkan secara sosial. Dan karena itu, mengapa kita tidak bersegera menjadi salah satu di antaranya? (Zirlyfera Jamil, bahan wawancara: Rahmi dan Rosita)
No comments:
Post a Comment