Friday, 18 September 2020

13 Dosa Suami Terhadap Istri

ainunfiqihkontemporer.blogspot.com
“Dunia itu penuh dengan kenikmatan. Dan sebaik-baik kenikmatan dunia yaitu istri yang shalihah”

Dalam rumah tangga sendiri terdapat perbedaan kedudukan tentunya baik bagi suami atau juga istri sebagaimana kewajiban suami terhadap istri dan kewajiban istri terhadap suami . Namun istri memiliki posisi yang istimewa.

Sedangkan kedudukan kaum laki-laki dalam rumah tangga dijelaksn dalam firman Allah SWT berikut ini :

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Q.S. An-Nisa (4) : 34).

Oleh karena itu perlu sekali para suami mengetahui perbuatan-perbuatan yang oleh islam dikategorikan sebagai tindakan dosa suami terhadap istri sebagaimana dosa yang tak terampuni

Adapun 13 Dosa Suami Terhadap Istri beserta dalilnya.

1.      Tidak Mengajarkan Ilmu Agama

Perbuatan pertama yang dapat masuk sebagai kategori perbuatan dosa suami terhadap istri adalah tidak mengajarkan ilmu agama kepada istri.  Padahal sudah menjadi kewajiban suami untuk memelihara diri dan keluarga yang dipimpinnya dari perihnya azab kubur dan siksa neraka sebagaimana dalam Firman Allah SWT berikut.

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu & keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia & batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras & tidak mendurhakai Allah terhadap apa yg di perintahkan-Nya kepada mereka & selalu mengerjakan apa yang diperintakan,” (QS. At-Tahrim: 6).

2. . Tidak merasa Cemburu

Baca Juga :

Dosa yang kedua adalah tidak merasa cemburu terhadap istri. Dalam rumah tangga sendiri sifat cemburu sangat diperlukan sebagai bumbu bumbu dalam cinta, namun tentu saja hal ini tidak diperbolehkan dilakukan dengan berlebihan. Berikut hadist yang menjelaskan mengenai hal ini :

Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat yaitu seseorang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai lelaki dan ad-Dayyuts,” (H.R. An-Nasa’i dinilai ‘hasan’ oleh syeikh Albani, lihat ash-Shahihah : 674).

Ad-Dayyuts(dayus) adalah lelaki yang tidak memiliki kecemburuan terhadap keluarga/istrinya.

3. Tidak Memberi Nafkah

Sudah banyak contoh para suami yang tak malu menelantarkan istrinya tanpa uang nafkah atau uang belanja sama sekali, ini merupakan dosa yang luar biasa. Bayangkan seorang wanita yang telah rela meninggalkan kedua orangtuanya untuk hidup mengabdi pada suami, bahkan rela mengandung anak dan melahirkannya untuk sang suami, namun diperlakukan seperti binatang peliharaan yang terabaikan dengan tidak diberi nafkah lahir sebagaimanahukum suami pelit menafkahi istri. Sungguh suami telah berbuat dosa besar jika melakukan hal ini.

”Rasululluah bersabda, seseorang cukup dipandang berdosa bila ia menelantarkan belanja orang yang menjadi tanggung jawabnya,” (HR.Abu Dawud no.1442 CD, Muslim, Ahmad, dan Thabarani).

4. Membiarkan Istri Bekerja untuk Menafkahi Suami

Saat ini banyak istri yang memilih untuk bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Namun hal ini tentu tidak bisa menjadi alasan bagi suami untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan rumah tangga dalam hal mencari nafkah. Terelbih lagi jika suami malah memilih bersantai leyeh leyeh dan membiarkan istri yang bekerja.

Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh seorang wanita,“(HR.Ahmad n0.19612 CD, Bukhari,Tirmidzi,dan Nasa’i).

5. Memiliki Perasaan Benci Kepada Istri

Tentunya memiliki sifat benci terhadap istri merupakan salah satu bentuk dosa suami terhadap istri. Rasulullah telah mengingatkan akan hal ini melalui hadist berikut :

Janganlah seorang suami yang beriman membenci isterinya yang beriman. Jika dia tidak menyukai satu akhlak darinya, dia pasti meridhai akhlak lain darinya,” (H.R. Muslim).

6. Enggan Membantu Istri dalam Pekerjaan Rumah

Tidak sedikit suami yang ogah membantu pekerjaan domestik rumah tangga, padahal Rasulullah sendiri telah mencontohkan untuk membantu istri dalam persoalan rumahan sekalipun.

“Beliau (Rasulullah) membantu pekerjaan isterinya & jika datang waktu solat, maka beliau pun keluar untuk solat,” (H.R. Bukhari).

7. Menyebarluaskan Aib Istri

Aib istri tentu juga merupakan aib suami yang harus ditutupi, bukan yang harus disebarluaskan, sebab jika demikian maka suami telah melakukan dosa terhadap istri.

“Sesungguhnya di antara orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seseorang yang menggauli isterinya & isterinya menggaulinya kemudian dia menyebarkan rahasia-rahasia isterinya,” (H.R. Muslim).

8. Poligami Tanpa Mengindahkan Syariat

Islam tidak melarang poligami, namun hal imi harus mengikuti syariat islam. Sebab jika dilakukan diluar syariat islam, maka hal ini merupakan dosa suami kepada istri.

“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja,” (Q.S An-Nisa: 3).


9. Menyakiti Istri Secara Fisik

👉Blog Anak Sekolah_Materi Lengkap Anak Sekolah

Mumukul, atau juga menyakiti istri secara fisik merupakan bentuk perbuatan dosa suami. Sebab wanita tentu merupakan kaum yang harus dilindungi. Selain merupakan perbuatan dosa, memukul dan menyiksa istri secara fisik juga merupakanj perbuatan yang melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman.

“Hendaklah engkau memberinya makan jika engkau makan, memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajah, tidak menjelek-jelekkannya…” (H.R. Ibnu Majah disahihkan oleh Syeikh Albani).

10. Bersikap Buruk kapada Istri Sebaliknya Baik Terhadap Orang Lain

Padahal yang paling berhak menilai seseorang itu baik atau buruk bukanlah orang lain, melainkan pasangan kita sendiri.

“Mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik–baik kalian adalah yang paling baik tehadap isteri-isterinya,” (H.R. at-Tirmidzi, disahihkan oleh Syeikh Albani).

11. Meremehkan Kedudukan Istri

Suami dan istri memang memiliki kedudukan yang berbeda, namun tentunya hal ini tidak lantas membuat suami meremehkan kedudukan istri. bahkan istri memiliki posisi yang istimewa, penghargaan Islam terhadap kaum wanita sebagaimana tersebut dalam hadits nabi:

اَلْمَرْأَةُ عِمَادُ الْبِلَادِ اِذَاصَلُحَتْ صَلُحَ الْبِلَادُ وَاِذَافَسَدَتْ فَسَدَ الْبِلَادُ (حديث)

 Wanita adalah tiang negara jika wanitanya baik maka baiklah negara, dan bila wanita buruk maka negara juga ikut buruk”.

12. Terburu Buru Mentalak 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ، وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ، وَالرَّجْعَةُ.

Tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh-sungguh akan jadi dan bila dikatakan dengan main-main akan jadi pula, yaitu nikah, talak dan rujuk.

13. Tidak Setia Terhadap Istri

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: 

“Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya”. [an-Nur/24: 30-31].

 Referensi : dalamislam.com

 Read Next

Wednesday, 16 September 2020

HUKUM MENIKAH SAAT HAMIL

Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi)

Hukum Pernikahan Wanita Hamil, Berdasarkan Al-Quran dan Hadits dan Para Ulama.

ainunfiqihkontemporer.blogspot.com
Pergaulan bebas dan perilaku zina dapat menyebabkan seorang wanita hamil diluar nikah. Wanita yang hamil diluar nikah dianggap membawa aib bagi keluarganya dan ia biasanya kan segera dinikahkan untuk menutupi aib tersebut oleh keluarganya dan menghindarikonflik dalam keluarga. Berdasarkan beberapa dasar hukum islam, hukum menikah saat hamil dianggap sah dan wanita yang melakukan zina baik dalam keadaan hamil maupun tidak, bisa menikah dengan pria yang menzinainya ataupun pria lain yang tidak menzinainya. 

Untuk lebih jelasnya kita perhatikan dasar pertimbangan wanita yang menikah disaat hamil Berdasarkan :

A. Al qur’an

Ayat tersebut menyatakan bahwa seorang wanita penzina bisa menikah dengan laki-laki yang menzinainya maupun yang tidak menzinainya

Qs. An Nisa Ayat 24_ainunfiqihkontemporer.blogspot.com

“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina. Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah maskawinnya kepada mereka, sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana” (An Nisa ayat 24)

 Baca juga

B. Hadits rasulullah SAW

Berdasarkan hadits rasul, wanita yang hamil boleh menikah dengan laki-laki yang menzinahinya maupun yang tidak menzinahinya sebagaimana hadits berikut ini :

“Seorang laki-laki yang dihukum jilid (cambuk) tidak akan menikah kecuali dengan yang serupa (wanita pelaku zina)”. (HR Abu Dawud)

Hadist yang lain juga menyebutkan bahwa hukum wanita yang menikah saat hamil adalah sah karena perbuatan zina yang haram hukumnya tidak menghalangi perbuatan yang halal yakni menikah.

Perbuatan yang haram (zina) itu tidak menyebabkan haramnya perbuatan yang halal (HR Ibn Majah)


C. Menurut Pendapat Ulama

Selain disebutkan dalam Al qur’an dan hadits, hukum menikah di saat hamil juga diutarakan oleh beberpa ulama. Para ulama memiliki pendapat yang berbeda sesuai dengan mahzab yang dianut. Berikut ini adalah pendapat ulama mengenai hukum menikah di saat hamil:

  • Ulama syafi’iah

Ulama Syafi’iah berpendapat, bahwa hukum wanita yang disaat hamil adalah sah selama tidak ada dalil yang melarangnya. Imam syafiiah juga menjelaskan bahwa wanita yang hamil boleh menikah dengan laki-laki yang menghamilinya maupun yang tidak menghamilinya. Pernikahan yang dilakukan wanita meskipun dalam keadaan hamil diperbolehkan menurut mahzab syafiiyah selama pernikahan tersebut memenuhi syarat nikah dan adanya ijab kabul. Ulama syafiiah juga berpendapat bahwa wanita hamil tidak memiliki masa iddah.

  • Ulama Hanabilah

Berbeda dengan ulama Syafiiah, ulama Hanabilah tidak sependapat. Ulama Hanabiyah menyebutkan bahwa tidaklah sah pernikahan wanita dalam keadaan hamil dan sang wanita baru boleh menikah setelah lewat masa iddahnya yakni setelah melahirkan bayi dalam kandungannya. Jika wanita tetap menikah dalam keadaan hamil maka pernikahan itu tidak sah menurut ulama Hanabilah.

  • Ulama malikiyah

Ulama malikiyah juga sependapat dengan ulama hanabilah bahwa wanita yang hamil memiliki masa iddha atau masa tunggu yang dikenal dengan sebutan istibra. Masa istibra seorang wanita hamil adalah sampai melahirkan sementara wanita pezina yang tidak hamil masa istibranya hingga tiga kali masa haidnya lewat. Pernikahan wanita hamil dengan laki-laki yang menghamili ataupun bukan, tidaklah sah sampai wanita tersebut melahirkan.

  • Ulama Hanafiyah

Ulama hanafiyah berpendapat bahwa pernikahan wanita saat hamil hukumnya sah apabila ia menikah dengan laki-laki yang menghamilinya dan memenuhi syarat maupun akad nikah. Ulama Hanafiyah berpendapat demikian karena mengacu pada ayat Al qur’an bahwa wanita yang hamil bukanlah salah satu wanita yang haram untuk dinikahi. Hal ini disebutkan dalam Al qur’an surat An Nisa ayat 23

Qs. An Nisa Ayat 23_ainunfiqihkontemporer.blogspot.com

👉 BLOG ANAK SEKOLAH

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yangperempuan; saudara-audaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmuperempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan darisaudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamuceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalamperkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi MahaPenyayang,”(Q.S An-Nisa 23 )

  • Menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam)

Pernikahan wanita saat hamil juga disebutkan dalam kompilasi hukum islam dan hukumnya diperbolehkan dengan menimbang segala manfaat dan mudharatnya. Berikut adalah bunyi pasal 53 yang mengatur pernikahan wanita yang hamil akibat zina.

a. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

b. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

c. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Demikianlah hukum menikah saat hamil berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan dalam Alqur’an, hadits, pendapat ulama dan kompilasi hukum islam. Dapat disimpulkan bahwa hukum menikah saat hamil dibolehkan sebagaimanahukum menikahi wanita hamil demi menjaga kemaslahatan bersama dan melindungi kehormatan seseorang namun sebaiknya hindarinikah siri. Setelah melakukan kesalahan maka baik wanita maupun pria harus bertobat dan memohon ampun atas apa yang telah dilakukan. Memohon ampun dan jangan berputus asa akan rahmat Allah akan menghindarkan kita daripenyebab hati gelisah. Bagi mereka yang belum menikah ada baiknya menjaga diri dari perbuatan zina dan ketahuilah caramencari jodoh dalam islam sertakriteria calon istri yang baik dankriteria calon suami yang baik dengan cara Ta’aruf.

Referensi : dalamislam.com

Friday, 11 September 2020

Hukum Menikah Tanpa Restu Orang Tua

“Dan Kami perintahkan kepadamanusia (agar berbuat baik) kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaanlemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dankepada kedua orangtuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS. Lukman : 14)

Baca Juga :

Keutamaan menikah adalah sesuatu yang menjadi wajib bagi yang telah mampu dari segi usia atau dari segi kemampuan ya sobat, menikah dapat menjadi jalan pahala dan jalan untuk berbuat kebaikan yang banyak serta menjadi jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah karena menikah dapat menjauhkan dari maksiat dan zina.

Nah sobat, dalam kenyataannya, menikah tidak semudah itu dilakukan oleh sebagian orang yang diantaranya terjadi karena halangan restu orang tua, umumnya nih sobat, orang tua yang tidak setuju anaknya menikah dengan seseorang itu terjadi karena hal berikut :

·         Calon menantu dianggap tidak bisa menjadi istri atau suami yang baik atau tidak mempunyai kemampuan untuk menghidupi anaknya atau melakukan pekerjaan rumah tangga misalnya pada pernikahan dini.

·         Calon menantu dianggap tidak memiliki karakter yang baik, tidak memiliki sifat yang baik, dan tidak pantas untuk menjadi seorang suami atau istri karena sifatnya yang buruk tersebut.

·         Calon menantu beda dalam hal status baik itu agama, harta, jabatan, dsb.

·         Orang tua memiliki kriteria khusus untuk anaknya padahal anaknya juga memiliki kriteria khusus tentang calon suami attau istrinya yang berbeda dari orang tuanya.

Nah sobat, dari beragam alasan tersebut, sebenarnya orang tua itu menginginkan yang terbaik untuk anaknya ya sobat namun tentunya tak boleh melakukan kejahatan orang tua terhadap anak, sebab orang tua tentu berharap anaknya memiliki kehidupan yang bahagia setelah menikah, bukan sebaliknya, hidup susah setelah menikah. Nah sobat, islam, punya pandangan sendiri mengenai hal ini, yuk simak selengkapnya, Hukum Menikah Tanpa Restu Orang Tua.

Sebelumnya sobat pahami dulu rukun nikah berikut ini, “Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa rukun nikah dalam islam itu ada lima yaitu, shigat, mempelai pria, mempelai wanita, dua orang saksi, dan wali,” (lihat Wizaratul Awqaf was Syu`un Al-Islamiyyah-Kuwait, Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz xxxxi, halaman 233)

Masalah ini bisa kita bedakan dari dua sisi :

·         Pertama, dilihat dari sisi akhlaq.

·         Kedua, dilihat dari sisi hukum hitam putih.

Secara fiqih pernikahan dan akhlaq, sungguh merupakan sebuah tindakan yang amat menyakitkan, bila seorang anak melakukan tindakan yang tidak berkenan di hati orang tua. Apalagi bila tindakan itu sebuah pernikahan. Secara akhlaq, tidak pada tempatnya seorang anak yang sejak kecil dilahirkan, diasuh, dijaga, dididik dan dibesarkan oleh orang tuanya, dengan sepenuh hati, berkorban jiwa raga, tiba-tiba melakukan hal-hal yang membuat orang tua sakit hati. Atau malah mengecawakannya.

Dari sisi akhlaq, anak yang tega menyakiti atau menentang kehendak orang tuanya adalah anak yang durhaka, tidak tahu balas budi dan kurang ajar. Buat apa sejak kecil diurusi, kalau setelah besar tidak mau hormat dan menjaga perasaan orang tua? Kemudian seenaknya mau mengatur diri sendiri, sampai menikah tanpa mendapat restu dan ridha dari orang tuanya

Anak yang begini kelakuannya, hingga menyakiti hati orang tuanya, boleh dibilang akan sengsara hidupnya. Jalannya akan tidak lurus, kehidupannya akan sepi dari keberkahan, meski sekilas hartanya berlimpah, rumahnya bertingkat, gajinya berlipat, mobilnya mengkilat, badannya sehat.

Tapi kalau dengan orang tua kualat, jiwanya akan sekarat, jalannya akan sesat, hidup jadi tidak nikmat, tidak punya semangat. Baik anak laki-laki atau pun perempuan, sebisa mungkin jangan sampai menikah tanpa restu dan ridha orang tua. Sebab kalau untuk membalas jasanya tidak mampu sobat lakukan, paling tidak sekedar tidak menyakiti hati mereka, sudah merupakan nilai tersendiri.

·         Pernikahan Tidak Sah Secara Hukum

Dari Sudut Pandang Hukum Sedangkan bila sobat lepaskan masalah bakti atau kualat dengan orang tua, bila ada seorang laki-laki menikah, memang tidak memerlukan peran orang tuanya sebagai wali. Sebab pernikahan seorang laki-laki memang tidak membutuhkan wali.

Sebaliknya, seorang wanita tidak boleh menikahkan diri sendiri. Yang menikahkannya harus ayah kandungnya sebagai wali. Dirinya sendiri justru tidak punya peran apa-apa dalam akad nikah, sehingga kalau pun tidak hadir dalam pernikahannya sendiri, secara hukum nikahnya tetap sah. Maka seorang wanita yang menikah tanpa izin, restu dan ridha dari ayah kandungnya, secara hukum nikahnya tidak sah, selain itu dia juga mendapatkan dosa atas ulahnya yang kualat terhadap orang tuanya.

Solusi Menurut Islam

Seharusnya para wali segera mengawinkan putri-putrinya apabila dipinang oleh laki-laki yang setara, apalagi jika mereka juga ridha. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda. “Artinya : Apabila datang kepada kamu orang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya untuk meminang (putrimu) makan kawinkanlah ia, sebab jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan malapetaka yang sangat besar

[Riwayat At-Turmudzi, dan Ibnu Majah. Hadits ini adalah hadits Mursal, namun ada hadits lain sebagai syahidnya diriwayatkan oleh At-Turmudzi] Dan tidak boleh menghalangi mereka menikah karena supaya menikah dengan lelaki lain dari anak pamannya atau lainnya yang tidak mereka suka,

ataupun karena ingin mendapat harta kekayaan yang lebih banyak, ataupun karena untuk tujuan-tujuan murahan lainnya yang tidak dibenarkan oleh syari’at Allah dan Rasul-Nya. “Jika datang kepada kamu orang yang engkau sukai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Kalau tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan besar.” (HR. Tirmizi, no. 1084)

Hukum Menikah Tanpa Restu Orang Tua, Siapa yang Berdosa Dilihat dari Alasannya

1.      Dari Khonsa binti Khazam Al-Anshori, bahwa ayahnya menikahkannya saat dia sedang menjanda, sedangkan dia tidak menyukainya. Kemudian dia mendatangi Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam, maka nikahnya ditolak. (HR. Bukhori, no.  4845)

2.      “Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma, seorang gadis mendatangi Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Dia menceritakan bahwa ayahnya menikahkannya sedangkan dirinya tidak menyukainya. Maka Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memberikan pilihan kepadanya (menerima atau menolaknya).” (HR. Abu Daud, no. 2096, dan dishahihkan oleh Al-Albany)

👉Baca,,HUKUM KURBAN MENURUT 5 MAZHAB

3.      Sejumlah ulama berpendapat bahwa wanita kalau dinikahkan tanpa kerelaan, maka akadnya tergantung persetujuan wanita. Kalau dia setuju, akadnya sah. Kalau tidak setuju, maka dia berhak membatalkan akad nikah. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan riwayat dari Imam Ahmad. Silakan lihat Al-Mughni, 7/364, Fathul Bari, 9/194.

4.      Syekh Ibnu Utsaimin berkata dalam masalah orang tua yang memaksakan menikahkan anak wanitanya berkata, “Pemaksaan orang tua kepada anak wanitanya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak ingin dia menikah dengannya adalah haram. Dan kalau haram, berarti tidak sah dan tidak dapat dilaksanakan. Karena pelaksanaan dan pengesahannya itu bertolak belakang dengan riwayat yang melarangnya. Karena maksud syariat dalam melarang sesuatu agar kita tidak memakai dan melaksanakannya. Karena  kita kalau sahkan artinya kita memakai dan melaksanakannya, dan kita jadikan seperti akad yang telah dibolehkan agama. Dari pendapat ini, maka pendapat yang kuat bahwa orang tua yang menikahkan anak wanitanya kepada orang yang tidak disukai menjadi suami adalah pernikahan yang rusak, akadnya juga rusak. Hendaknya pengadilan mengkaji ulang (keabsaan akad nikahnya).”

Nah sobat, dari dalil yang telah di sebutkan, tentu kita dapat mengambil kesimpulan berikut :

·         Lelaki yang menikah tanpa restu orang tua pernikahannya tetap sah secara agama sebab telah memenuhi rukun nikah dimana lelaki tidak memerlukan wali nikah.

·         Wanita yang menikah tanpa persetujuan orang tua dan hanya dinikahkan oleh wali tetap tidak diperbolehkan sebab wali nikah harus ditunjuk oleh orang yang bersangkutan.

·         Orang tua yang melarang anaknya menikah harus memiliki alasan yang tepat, misalnya karena terbukti memiliki akhlak yang buruk atau tidak menjalankan islam atau kafir.

·         Jika orang tua menolak menikahkan anaknya hanya karena harta atau status dan hal duniawinya lainnya padahal calon menantu memiliki akhlak dan hati yang baik maka nantinya orang tua dan anaknya sendiri yang rugi dan orang tua berdosa karena menghalangi kebahagiaan anaknya.

·         Orang tua harus memiliki alasan yang jelas jika memiliki rencana mengenai kebaikan masa depan untuk anaknya, jika terjadi masalah maka dapat didatangkan penengah untuk mencari solusi terbaik antara anak dan orang tua tersebut.

·         Wanita memang milik orang tuanya, namun jika wanita tersebut memiliki calon suami yang baik yang orang tuanya belum percaya dapat membuktikan keyakinannya dan memberi bukti serta memohon petunjuk kepada Allah.

·         Lelaki juga milik ibunya jika si ibu belum setuju tentang calon menantu lelaki harus berusaha menunjukkan kebaikan calon istrinya dan membuktikannya agar tercapai jalan yang jelas untuk membuktikan bahwa si istri tersebut terbaik untuknya

Referensi : dalamislam .com

Read Next

Wednesday, 9 September 2020

NIKAH_Pengertian, Hukum dan Rukunnya

ainunfiqihkontemporer.blogspot.com
Fiqih pernikahan atau munakahat adalah ilmu yang menjelaskan tentang syariat suatu ibadah termasuk pengertian, dasar hukum dan tata cara yang dalam hal ini menyangkut pernikahan. Adapun hal-hal tersebut dapat disimak dalam penjelasan berikut ini

Pengertian Nikah

Pernikaan adalah salah satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan masyarakatagama islam dan masyarakat.  Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan  untuk membangun rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Pernikahan juga dipandang  sebagai jalan untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas serta memperkuat tali silaturahmi diantara manusia. Secara etimologi bahasa Indonesia pernikahan berasal  dari kata nikah, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”.

Pernikahan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia berarti diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri.

1.  Pengertian menurut etimologi

Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut denganberasal dari kata an-nikh dan azziwaj yang memiliki arti melalui, menginjak, berjalan di atas,  menaiki, dan bersenggema atau bersetubuh. Di sisi lain nikah juga berasal dari istilah Adh-dhammu, yang memiliki arti merangkum, menyatukan dan mengumpulkan serta sikap yang ramah.  adapun pernikahan yang berasalh dari kata aljam’u yang berarti menghimpun atau mengumpulkan. Pernikahan dalam istilah ilmu fiqih disebut ( زواج ), ( نكاح ) keduanya berasal dari bahasa arab. Nikah dalam bahasa arab mempunyai dua arti yaitu ( الوطء والضم ) baik arti secara hakiki ( الضم ) yakni menindih atau berhimpit serta arti dalam kiasan ( الوطء ) yakni perjanjian atau bersetubuh.

2. Pengertian Menurut Istilah

Adapun makna tentang pernikahan secara istilah masing-masing ulama fikih memiliki pendapatnya sendiri antara lain :

1.      Ulama Hanafiyah mengartikan pernikahan sebagai suatu akad yang membuat pernikahan menjadikan  seorang laki-laki dapat memiliki dan menggunakan perempuan termasuk seluruh anggota badannya untuk mendapatkan sebuah kepuasan atau kenikmatan.

2.      Ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan menggunakan lafal حُ حاكَكنِن , atau كَ ز كَ وا حُ ج , yang memiliki arti pernikahan menyebabkan pasangan mendapatkan kesenanagn.

3.      Ulama Malikiyah menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad atau perjanjian yang dilakukan untuk mendapatkan kepuasan tanpa adanya harga yang dibayar.

4.      Ulama Hanabilah menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan menggunakan lafal انِ نْ ن كَ كا حُ ح atau كَ نْ نِ و نْ حُ ج yang artinya pernikahan membuat laki-laki dan perempuan dapat memiliki kepuasan satu sama lain.

5.      Saleh Al Utsaimin, berpendapat bahwa nikah adalah pertalian hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan maksud agar masing-masing dapat menikmati yang lain dan untuk membentuk keluaga yang saleh dan membangun masyarakat yang bersih

6.      Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, menjelaskan bahwa  nikah adalah  akad yang berakibat pasangan laki-laki dan wanita menjadi halal dalam melakukan bersenggema serta adanya hak dan kewajiban diantara keduanya.

Materi Pelajaran Sekolah di 👉 BLOG ANAK SEKOLAH

Dasar Hukum Pernikahan

Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum yang menjadikannya disarankan untuk dilakukan oleh umat islam. Adapun dasar hokum pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut :


Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).

 

”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32)

 

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).

 

”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.

 

Hukum Pernikahan

Dalam agama islam pernikahan memiliki hukum yang disesuaikan dengan kondisi atau situasi orang yang akan menikah. 

Baca Juga :

Berikut hukum pernikahan menurut islam :

·         Wajib, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk meinkah dan jika tidak menikah ia bisa tergelincir perbuatan zina.

·         Sunnah, berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah namun jika tidak menikah ia tidak akan tergelincir perbuatan zina

·         Makruh, jika ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu menahan diri dari zina tapi ia tidak memiliki keinginan yang kuat untuk menikah. Ditakutkan akan menimbulkan mudarat salah satunya akan menelantarkan istri dan anaknya

·         Mubah, jika seseorang hanya menikah meskipun ia memiliki kemampuan untuk menikah dan mampu menghindarkan diri dari zina, ia hanya menikah untuk kesenangan semata

·         Haram, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan jika menikah ia akan menelantarkan istrinya atau tidak dapat memenuhi kewajiban suami terhadap istri dan sebaliknya istri tidak dapat memenuhi kewajiban istri terhadap suami. Pernikahan juga haram hukumnya apabila menikahi mahram atau pernikahan sedarah.

Rukun dan Syarat Pernikahan

Pernikahan dalam islam memiliki beberapa syarat dan rukun yang harus dipenuhi agar pernikahan tersebut sah hukumnya di mata agama baik menikah secara resmi maupun nikah siri.

Berikut ini adalah syarat-syarat akad nikah dan rukun yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan misalnya nikah tanpa wali maupun ijab kabul hukumnya tidak sah.

a.     Rukun Nikah

Rukun pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dalam pelaksanaan pernikahan, mencakup :

1.      Calon mempelai laki-laki dan perempuan

2.      Wali dari pihak mempelai perempuan

3.      Dua orang saksi

4.      Ijab kabul yang  sighat nikah yang di ucapkan oleh wali pihak perempuan dan dijawab oleh calon mempelai laki-laki.

b. Syarat Nikah

Adapun syarat dari masing-masing rukun tersebut adalah

1. Calon suami dengan syarat-syarat berikut ini

·         Beragama Islam

·         Berjenis kelamin Laki-laki

·         Ada orangnya atau jelas identitasnya

·         Setuju untuk menikah

·         Tidak memiliki halangan untuk menikah

2. Calon istri dengan syarat-syarat

·         Beragama Islam ( ada yang menyebutkan mempelai wanita boleh beraga nasrani maupun yahudi)

·         Berjenis kelamin Perempuan

·         Ada orangnya atau jelas identitasnya

·         Setuju untuk menikah

·         Tidak terhalang untuk menikah

3. Wali nikah dengan syarat-syarat wali nikah sebagai berikut.

·         Laki-laki

·         Dewasa

·         Mempunyai hak perwalian atas mempelai wanita

·         Adil

·         Beragama Islam

·         Berakal Sehat

·         Tidak sedang berihram haji atau umrah

4.  Saksi nikah dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat berikut ini ;

·         Minimal terdiri dari dua orang laki-laki

·         Hadir dalam proses ijab qabul

·         mengerti maksud akad nikah

·         beragama islam

·         Adil

·         dewasa

5. Ijab qobul dengan syarat-syarat, harus memenuhi syarat berikut ini :

·         Dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak baik oleh pelaku akad dan penerima aqad dan saksi. Ucapan akad nikah juga haruslah jelas dan dapat didengar oleh para saksi.

Fikih pernikahan atau  munakahat adalah salah satu ilmu yang mesti dipelajari dan diketahui umat islam pada umumnya agar pernikahan dapat berjalan sesuai dengan tuntunan syariat agama dan menghindarkan hal-hal yang dapat membatalkan pernikahan.

Referensi : dalamislam.com

Read Next

Klik Ikuti untuk mendapatkan lebih banyak materi