Sunday, 20 November 2016

Menata Shaf, Sunnah Rasul Yang Sering Diabaikan Wanita


Menata shaf dalam shalat merupakan hal penting saat kita menunaikan shalat berjama’ah. Namun sangat disayangkan, sunnah Rasul ini mulai diabaikan bahkan cenderung dilupakan.khususnya oleh kaum wanita.
Saudariku muslimah… Mengapa kita perlu membahas masalah shaf ini? Karena banyak kita jumpai kesalahan di kalangan sebagian wanita. Ketika mereka hadir dalam shalat berjama’ah di masjid bersama kaum pria, mereka bersegera menempati shaf yang awal, tepat di belakang shaf terakhir jama’ah pria. Mereka menduga, dengan itu mereka akan mendapatkan keutamaan. Padahal justru sebaliknya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، خَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf pria adalah shaf yang awal dan sejelek-jelek shaf pria adalah yang akhirnya. Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling awal.” (Shahih, HR. Muslim, no. 440)
Al-Imam Nawawi rahimahullahu berkata: “Adapun shaf-shaf pria maka secara umum selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal dan selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf akhir. Berbeda halnya dengan shaf wanita. Yang dimaukan dalam hadits ini adalah shaf wanita yang shalat bersama kaum pria. Adapun bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari jama’ah pria, tidak bersama dengan pria, maka shaf mereka sama dengan pria, yang terbaik shaf yang awal sementara yang paling jelek adalah shaf yang paling akhir. Yang dimaksud shaf yang jelek bagi pria dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya dan keutamaannya, dan paling jauh dari tuntunan syar’i. Sedangkan maksud shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi wanita yang hadir shalat berjama’ah bersama pria memiliki keutamaan karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut akan jauh dari bercampur baur dengan pria dan melihat mereka. Di samping jauhnya mereka dari interaksi dengan kaum pria ketika melihat gerakan mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya. Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena alasan yang sebaliknya dari apa yang telah disebutkan.” (Syarah Shahih Muslim, 4/159-160)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu menyatakan: “Dalam hadits ini ada petunjuk bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf dan dzahir hadits ini menunjukkan sama saja baik shalat mereka itu bersama kaum pria atau bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian mereka jauh dari kaum pria, dari melihat dan mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat bersama pria. Adapun bila mereka shalat dengan diimami seorang wanita maka shaf mereka sama dengan shaf pria, yang paling utama adalah shaf yang awal.” (Subulus Salam, 2/49)
Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami dua perkara berikut ini:
1. Bila wanita itu shalat berjama’ah dengan kaum pria, maka shaf yang terbaik baginya adalah yang paling akhir.
2. Sementara bila ia shalat dengan diimami wanita lain (berjama’ah dengan sesama kaum wanita) atau bersama jama’ah namun ada pemisah antara keduanya, maka shaf yang terbaik baginya adalah yang paling awal sama dengan shaf yang terbaik bagi pria, karena tidak ada kekhawatiran terjadinya fitnah antara wanita dan pria. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِي الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ لاَسْتَهَمُوْا
“Seandainya mereka mengetahui keutamaan (pahala) yang diperoleh dalam shaf yang pertama, niscaya mereka akan mengundi untuk mendapatkannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 721 dan Muslim no. 437)
Haruskah Wanita Meluruskan Shafnya?
Saudariku muslimah… Ketentuan yang diberlakukan syariat ini terhadap shaf pria juga berlaku bagi shaf wanita dari sisi keharusan meluruskan shaf, mengaturnya, memenuhi shaf yang awal terlebih dahulu kemudian shaf berikutnya, serta menutup kekosongan yang ada dalam shaf. (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/157,158)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan:
سَوُّوْا صُفُوْفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena kelurusan shaf termasuk kesempurnaan shalat.” (Shahih, Al-Bukhari no. 723 dan Muslim no. 433)
Beliau juga bersabda:
لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُخُوْهِكُمْ
“Hendaknya kalian bersungguh-sungguh meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah sungguh-sungguh akan memperselisihkan di antara wajah-wajah kalian!.” (HR. Al-Bukhari no. 717 dan Muslim no. 436)
Bila para wanita ini diimami oleh seorang wanita, maka hendaknya sebelum shalat ditegakkan imam menghadap ke makmumnya untuk meluruskan shaf mereka, dengan dalil hadits Anas radhiyallahu ‘anhu. Ia mengatakan:
أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَوَجْهِهِ فَقَالَ: أَقِيْمُوْا صُفُوْفَكُمْ وَتَرَاصُّوْا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي
“Diserukan iqamah untuk shalat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah kami dengan wajahnya, seraya berkata: ‘Luruskan shaf-shaf kalian dan rapatkanlah (saling menempel tanpa membiarkan adanya celah) karena sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku.’” (HR. Al-Bukhari no. 719 dan Muslim no. 434)
Yang dimaksud dengan meluruskan shaf adalah meratakan barisan orang-orang yang berdiri di dalam shaf tersebut sehingga tidak ada yang terlalu maju atau terlalu mundur, atau menutup adanya celah di dalam barisan tersebut (Fathul Bari, 2/254). Hal ini bisa dilakukan dengan menempelkan pundak dengan pundak dan mata kaki dengan mata kaki, sebagaimana amalan para shahabat yang disebutkan oleh An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu: “Aku melihat salah seorang dari kami menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adzan; bab Ilzaqil Mankib bil Mankib wal Qadam bil Qadam fish Shaf)
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk meluruskan shaf, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyaksikan: “Adalah salah seorang dari kami menempelkan pundaknya dengan pundak temannya dan menempelkan kakinya dengan kaki temannya.” (HR. Al-Bukhari no. 725)
Bagaimana Bila Wanita Shalat Sendirian dengan Jama’ah Pria?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah diundang makan di rumah Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu. Selesainya dari memakan hidangan yang disajikan, beliau mengajak penghuni rumah untuk shalat bersama beliau. Maka Anas segera membersihkan tikar milik mereka yang telah menghitam karena lama dipakai dengan memercikkannya dengan air, setelah itu ia hamparkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas mengabarkan:
صَلَّيْنَا أَنَا وَيَتِيْمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي -أُمُّ سُلَيْمٍ- خَلْفَنَا
“Aku bersama seorang anak yatim di rumah kami pernah shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang ibuku -Ummu Sulaim- berdiri di belakang kami.” (HR. Al-Bukhari no. 380, 727 dan Muslim no. 658)
Hadits di atas menunjukkan seorang wanita bila shalat bersama kaum pria maka posisinya di belakang shaf mereka. Apabila tidak ada bersamanya wanita lain, dalam arti hanya satu wanita yang ikut dalam jama’ah tersebut, maka dia berdiri sendiri di shaf paling akhir dari shaf yang ada, demikian dikatakan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahudalam Syarah Shahih Muslim (5/163).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan wanita tidaklah berdiri satu shaf dengan kaum pria. Asal dari perkara ini adalah kekhawatiran terfitnahnya kaum pria dengan wanita….” (Fathul Bari, 2/261)
Bolehkah Seorang Pria Mengimami Seorang Wanita?
Saudariku muslimah… Mungkin akan timbul pertanyaan: bolehkah seorang pria mengimami, yakni mereka hanya shalat berdua? Maka jawaban dari pertanyaan di atas bisa kita rinci berikut ini. Apabila wanita itu bukan mahramnya, maka haram ia berduaan (khalwat) dengannya walaupun untuk tujuan shalat. Hal ini perlu kita tekankan karena mungkin ada anggapan shalat itu ibadah sehingga tidak dipermasalahkan adanya khalwat ketika mengerjakannya. Maka ini jelas anggapan yang salah. Dalil dalam permasalahan ini adalah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang umum:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali bila wanita itu didampingi mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341)
Ulama kita pun telah menyatakan keharaman akan hal ini, berbeda halnya bila wanita tersebut adalah mahramnya atau istrinya maka dibolehkan baginya shalat berdua dengan si wanita. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/277)
Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata: “Tidak mengapa seorang pria mengimami wanita-wanita yang merupakan mahramnya sebagaimana bolehnya ia mengimami para wanita bersama jama’ah pria. Karena (di jaman nubuwwah) para wanita biasa shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, Nabi sendiri pernah mengimami istri-istrinya dan pernah pula mengimami Anas bin Malik bersama ibunya di rumah mereka.” (Al-Mughni, 2/200) Wallahu ta’ala a’lam bishshawab.
Shaf Wanita di Dalam Shalat
Ketika disampaikan kepada Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzanhafizhahullah bahwasanya dalam bulan Ramadhan kaum wanita yang ikut hadir shalat berjama’ah di masjid memilih menempati shaf yang akhir. Akan tetapi shaf wanita yang pertama terpisah jauh dari shafnya jama’ah pria. Karena mayoritas wanita menempati shaf akhir ini, sehingga shaf penuh sesak dan menutup jalan bagi wanita lainnya yang hendak menuju ke shaf pertama. Mereka melakukan hal ini karena mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shaf wanita yang paling utama adalah yang paling akhir.”
Beliau hafizhahullah memberikan jawaban terhadap permasalahan di atas dengan mengatakan: “Dalam permasalahan ini ada perincian. Apabila jama’ah wanita (yang ikut hadir di masjid) shalat tanpa ada penghalang (penutup) antara mereka dengan jama’ah pria maka keaadan mereka sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang paling akhir.” Karena shaf yang akhir itu jauh dari kaum pria sedangkan shaf yang depan dekat dengan kaum pria.”
Adapun bila mereka shalat dengan diletakkan penghalang/penutup antara mereka dengan pria, maka yang lebih utama bagi mereka adalah shaf yang terdepan karena hilangnya (tidak adanya) perkara yang dikhawatirkan, dalam hal ini fitnah antara lawan jenis. Sehingga keberadaan shaf mereka sama dengan shaf pria, yang paling depan adalah yang terbaik, selama diletakkan penutup (penghalang) antara shaf mereka dengan shaf pria. Dan shaf-shaf wanita wajib diatur sebagaimana shaf-shaf pria, mereka sempurnakan/penuhi dulu shaf yang terdepan, baru yang di belakangnya dan demikian seterusnya. (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 1/323/324)
Wallahu a’lam.
Footnote:
1 Maknanya, kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, yaitu Allah akan meletakkan permusuhan dan kebencian di antara kalian dan berselisihnya hati-hati kalian. Karena berselisihnya mereka dalam shaf adalah perselisihan secara dzahir yang akan menjadi sebab perselisihan secara batin. (Syarah Shahih Muslim, 4/157)
(Dinukil dari Majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 05/Dzulqa’dah 1424H/Februari 2004M, judul: Menata Shaf, Sunnah Rasul yang Terabaikan, hal. 68-71, untuk http://akhwat.web.id
semoga bermanfaat....

Bagaimana Adab dan Sholat Tarawih Bagi Wanita...

Hasil gambar untuk gambar perempuan adzan
Ada seorang wanita shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, namanya Ummu Humaid ingin mengikuti shalat bersama Rasul Shalallaahu alaihi wasalam di masjid Nabi, maka Rasulullah memberikan jawaban yang begitu indah dan berkesan, yang artinya,
“Sungguh aku tahu, bahwa engkau senang shalat bersamaku, padahal shalatmu di dalam kamar lebih baik dari pada shalatmu di rumah, dan shalatmu di dalam rumah lebih baik dari pada shalatmu di masjid kampungmu, dan shalatmu di masjid kampung lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini.” (HR. Ibnu Khuzaimah, di dalam shahihnya).
Hadits di atas barangkali memiliki korelasi yang erat dengan hadits lain riwayat Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah, dari Ibnu Mas’ud Radhiallaahu anhu dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, “Sesungguhnya wanita adalah aurat, apabila dia keluar, maka syetan menghiasnya. Dan sedekat-dekatnya seorang wanita kepada Tuhannya adalah tatkala ia berada di bagian paling tersembunyi di rumahnya.”
Berdasarkan dua hadits di atas dapat diambil pengertian, bahwa pada dasarnya kondisi paling utama seorang wanita adalah tatkala
berada di tempat yang paling tersembunyi, termasuk ketika melakukan shalat. Apabila seorang wanita ingin shalat berjama’ah -termasuk Tarawih-, maka hendaknya memilih tempat tersendiri khusus untuk para wanita.
Kalau mengharuskan shalat di masjid yang biasa digunakan shalat oleh kaum pria, maka hendaknya memperhatikan adab-adab dan aturan ketika menuju ke sana. Karena tidak selayaknya seseorang ingin mencari pahala, namun dalam waktu bersamaan melakukan perbuatan yang dimurkai oleh Allah Subhannahu wa Ta’ala.
Di antara adab-adab yang perlu diperhatikan oleh seorang wanita ketika akan mendatangi masjid (khususnya shalat tarawih) adalah sebagai berikut:
1. Ikhlas
Hendaknya ketika berangkat ke masjid benar-benar ikhlas karena Allah. Bukan karena ingin bertemu dengan para wanita atau ibu-ibu yang lain, bukan karena ingin mendengarkan bacaan Imam, atau karena ikut-ikutan temannya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Subhannahu wa Ta’ala, (lihat di dalam surat al-Bayyinah ayat 5). Dan juga sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam,”Barang siapa mendatangi masjid untuk tujuan tertentu, maka itulah yang menjadi bagiannya.” (HR. Abu Daud)
2. Meminta Izin
Seorang wanita yang akan pergi ke masjid seharusnya meminta izin kepada ayah atau suaminya, berdasarkan hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu dia berkata, telah bersabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, “Janganlah kalian melarang wanita untuk mendatangi masjid, bila mereka minta izin kepada kalian.” (Shahih Muslim)
Di dalam riwayat yang Muslim yang lain disebutkan,
“Apabila istri kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, maka berilah mereka izin.”
Jika telah mendapatkan izin, silakan ke masjid, namun jika tidak diizinkan janganlah berangkat, karena taat terhadap suami lebih didahulukan daripada ibadah sunnah, demikian pula seorang putri jika tidak diizinkan ayahnya.
Selayaknya seorang suami jangan melarang istrinya pergi ke masjid, bila telah meminta izin dengan baik-baik, kecuali jika ada kondisi yang tidak mengizinkan, seperti bahaya atau gangguan di jalanan. Namun para wanita juga harus menyadari, bahwa shalat mereka di rumah adalah lebih utama, dan juga keluarnya mereka ke tempat umum justru terkadang menimbulkan fitnah atau dosa.
3. Berhijab/Menutup Aurat
Jangan sampai pergi ke masjid dalam kondisi tabarruj, yakni berdandan dan seronok, sengaja memancing perhatian, berpakaian ketat serta menampakkan perhiasan atau auratnya, sebab sekali lagi harus diingat, bahwa jika wanita keluar rumah, maka syetan menghiasnya, sehingga kelihatan menggoda dan menarik. Tabarruj adalah salah satu sifat wanita-wanita jahiliyyah yang tercela sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj (berhias dan bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS al-Ahzab: 33)
Syarat-syarat hijab adalah:
* Menutup seluruh tubuh
* Tidak membentuk lekuk tubuh
* Tidak pendek atau ketat
* Tidak transparan
* Bukan pakaian mewah untuk pamer
* Tidak mengikuti mode wanita kafir
* Tidak menyerupai pakaian laki laki dan
* Tidak bercorak menyolok atau bergambar makhluk hidup.
4. Tidak Memakai Parfum
Parfum merupakan salah satu penyebab fitnah dan kerusakan, bila salah dalam mempergunakannya. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah melarang wanita yang menggunakan minyak wangi untuk menghadiri shalat Isya’, sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Muslim. Bukan sekedar itu saja, bahkan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memberikan peringatan lebih keras lagi dalam hal ini, sebagaimana sabda beliau Shalallaahu alaihi wasalam,
“Wanita mana saja yang menggunakan parfum lalu keluar ke masjid, maka shalatnya tidak di terima sebelum dia mandi.” (HR. Al-Baihaqi).
Jika pergi ke masjid untuk beribadah tidak boleh menggunakan parfum, maka apalagi jika perginya adalah ke tempat-tempat umum selain masjid, tentu lebih tidak boleh lagi .
Berdandan, menampakkan kecantikan dan menggunakan parfum untuk dipamerkan kepada laki-laki lain adalah kebiasaan para pelacur. Maka seorang wanita muslimah yang terhormat tidak boleh meniru-niru tingkah mereka, karena sangat beresiko dan dapat menjerumuskannya ke dalam maksiat.
5. Tidak Berkhalwat
Yakni tidak boleh jalan berduaan dengan laki-laki lain (bukan mahram) baik itu berjalan kaki maupun berduaan di dalam mobil, entah itu teman, tetangga atau sopir pribadi sekalipun. Berdasarkan kepada hadits nabi Shalallaahu alaihi wasalam,
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, kecuali wanita tersebut disertai mahramnya.” (HR. Muslim dari Ibnu Abbas)
Di dalam riwayat lain disebutkan, bahwa jika seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, maka pihak ke tiganya adalah syetan.
6. Merendahkan Suara
Secara umum bukan hanya wanita saja yang diperintahkan untuk merendahkan suara dan tidak mengeraskannya, apalagi di dalam masjid. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya,
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. 31:19)
Dan bagi wanita, masalah ini lebih ditekankan lagi, sehingga wanita apabila mengingatkan imam yang lupa atau salah cukup dengan menepukkan telapak tangan kanan ke punggung tangan kiri, bukan bertasbih (mengucap subhanallah).
Hendaknya wanita menjaga suaranya di hadapan kaum laki-laki, karena tidak seluruh laki-laki hatinya sehat, di antara mereka ada yang hatinya sakit, dalam arti mudah tergoda dengan suara wanita.
Pembicaraan seorang wanita hanya dibolehkan di dalam hal-hal yang memang mengharuskan, seperti jual beli, memberikan persaksian, menjawab salam dan semisalnya. Ini pun harus diperhatikan, agar jangan sampai melembutkan suara, atau sengaja dibuat-buat supaya menarik. Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya, [“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa.Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.”
(QS. 33:32)
Jika wanita-wanita suci semisal istri Nabi masih diperintahkan untuk demikian, maka selayaknya para muslimah juga mencontoh mereka.
7. Menundukkan Pandangan
Para wanita hendaknya menundukkan pandangan dari laki-laki lain yang bukan mahram sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta’ala, yang artinya, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.” (QS. An-Nuur: 31)
Pandangan mata, sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim adalah cerminan hati, jika seorang hamba dapat menundukkan pandangannya, maka ia akan dapat menundukkan syahwat dan segala kemauannya. Sebaliknya jika pandangan dibiarkan dengan bebas dan leluasa, maka syahwat akan menguasainya.
Jarir pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tentang pandangan yang tidak disengaja, maka beliau menjawab, “Palingkanlah pandanganmu.” (HR Ahmad)
Dari Buraidah Radhiallaahu anhu, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah berkata kepada Ali Radhiallaahu anhu, “Wahai Ali jangan kau susul pandangan (pertama) dengan pandangan yang lain, karena untukmu hanya yang pertama, dan selebihnya bukan buatmu.” (HR. Ibnu Abdul Barr)
8. Hindari Ikhtilath
Jangan sampai terjadi ikhtilath (campur baur) laki-laki dan perempuan, baik ketika di jalan, ketika masuk masjid maupun ketika bubar dari masjid.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi, dengan sanad hasan dari Hamzah bin Usaid dari ayahnya, bahwa dia mendengar Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda sedang beliau berada di luar masjid, dan kaum pria saat itu bercampur dengan kaum wanita di jalan, maka beliau pun bersabda kepada para wanita, “Menepilah kalian, sesungguhnya kalian tidak ada hak di tengah jalan, hendaklah kalian semua berjalaan di tepian.” (HR. Abu Daud dan Baihaqi).
Maka seketika itu para wanita menepi ke tembok.
9. Tidak Menelantarkan Anak-anak
Termasuk tanggung jawab terbesar seorang wanita (ibu) adalah mendidik dan mengawasi anak, dan kelak dia akan ditanya oleh Allah tentang tanggung jawab ini.
Apabila kepergian seorang wanita ke masjid dengan menelantarkan anak-anak, seperti menyerahkan kepada pembantu yang kurang baik akhlaknya, atau menjadikan anak pergi leluasa bergaul dengan teman-teman yang buruk, maka hal itu tidak dibenarkan. Karena mencegah sesuatu yang buruk (terlantarnya anak) lebih di dahulukan daripada mencari manfaat (tarawih di masjid).
10. Menjaga Adab di Masjid
Masjid adalah rumah Allah dan tempat yang sangat mulia, ketika seseorang akan memasukinya, maka harus memperhatikan dan manjaga adab-adab ketika berada di dalamnya. Di antara yang perlu diperhatikan adalah:
* Menjaga kebersihan dan jangan sampai membuang kotoran di dalam masjid
* Tidak mendatangi masjid ketika habis makan bawang (jengkol, petai semisalnya)
* Tidak meludah di masjid, jika terpaksa hendaknya meludah di tissu, sapu tangan atau pakaian, dan jangan meludah ke arah kiblat.
* Mengawasi anak-anak agar jangan merobek atau melempar-lempar mushhaf
* Jangan memasukkan gambar-gambar makhluk bernyawa ke dalam masjid, baik berupa motif baju anak, mainan, majalah dan lain-lain..Wallahu ‘alam Bishawab .
Demikian semoga bermanfaat bagi kita semua.
Sumber : “Al-Muntaqa min Adab Shalat at-Tarawih Linnisaa”,
Husain bin Ali asy Syaqrawi disertai dengan kata sambutan dan koreksi oleh Syaikh Abdullah Ibnu Jibrin.

Bolehkah Muslimah Adzan...??

Hasil gambar untuk gambar perempuan adzan

Sebuah riwayat dari Bukhari-Muslim mengisahkan bagaimana azan disyariatkan. Ketika rombongan para sahabat yang hijrah dari Makkah tiba di Madinah bersama Rasulullah SAW, telah masuk waktu shalat.
Di saat bersamaan, belum terdapat media yang dipergunakan untuk memanggil khalayak agar berkumpul dan shalat berjamaah.
Mereka akhirnya bermusyawarah. Ada usulan menggunakan lonceng ala Nasrani atau torempet seperti umat Yahudi.
Lantas, Umar bin Khathab mengusulkan cukup dengan panggilan yang diserukan oleh seorang sahabat. Rasulullah akhirnya menunjuk Bilal untuk memenuhi tugas tersebut. Bilal adalah muazin pertama. Dan, ia adalah sosok lelaki.
Jika Bilal adalah sosok sahabat dari golongan laki-laki, muncul dalam kajian fikih Islam pertanyaan tentang boleh atau tidaknya seorang perempuan mengumandangkan azan.
Bila dikategorikan, ada dua persoalan utama, yaitu Muslimah berazan khusus untuk golongan perempuan, dan permasalahan lainnya ialah azannya perempuan untuk publik secara umum, terutama laki-laki.
Dari hadis di atas, Ibnu Hajar dalam kitab Fath Al-Bari-nya mengemukakan penunjukan azan hanya ditujukan untuk golongan laki-laki. Karena itu, mayoritas ulama bersepakat bahwa seorang perempuan tidak boleh azan ataupun iqamat untuk jamaah laki-laki.
Pendapat ini masyhur dipakai oleh empat mazhab fikih terkemuka; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dengan demikian, seorang perempuan tidak diperbolehkan azan untuk jamaah lawan jenis.
Lalu timbul permasalahan apakah azan yang telanjur dikumandangkan sah? Terkait ini, para ulama juga berselisih pandang. Pendapat pertama mengatakan azan yang terlanjut ia kumandangkan tidak sah.
Pandangan ini dianut oleh mayoritas ulama dari Mazhab Maliki, Syafii, dan Hanbali. Sedangkan pendapat kedua menyatakan azan perempuan yang bersangkutan dianggap sah dengan adanya kemakruhan. Pendapat ini banyak digunakan di Mazhab Hanafi. Kemudian, bagaimana bila yang bersangkutan berazan untuk komunitas Muslimah. Bolehkah azan ia kumandangkan?
Sebuah riwayat dari Abdullah bin Umar yang dinukil oleh Baihaqi menyebutkan bahwa sebagaimana sabda Rasulullah, tidak ada azan dan iqamat bagi kaum wanita.
Berdasarkan pada hadis ini, para penganut Mazhab Hanbali dan Maliki berpendapat bahwa tidak ada azan dan iqamat bagi kaum wanita.
Adapun menurut Mazhab Syafi’i, tidak ada larangan pengumandangan azan oleh dan untuk jamaah perempuan. Pun demikian dengan pandangan Ahmad bin Hanbal. Menurut dia, tidak ada pelarangan perempuan berazan. Mereka juga boleh dengan keinginan sendiri untuk tidak azan.

Menyikapi azan
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam Al-Jami’ fi Fiqh An-Nisa’, mengatakan bagi Muslimah yang menjadi objek dari azan, ada beberapa hal yang penting ditempuh mereka saat mendengar dan seusai azan dikumandangkan.
Di antaranya, pertama, Muslimah yang mendengar azan, hendaklah ia mengucapkan bacaan seperti apa yang dikumandangkan muazin, kecuali pada saat membaca “hayya alasshalah” dan “ hayya alalfalah”. Hendaknya, ia mengucapkan la haula wala quwwata illa billah.
Selanjutnya, sunah lainnya yang bisa dikerjakan seusai mendengar azan ialah bershalawat kepada Nabi SAW. Riwayat Muslim menyebutkan bahwa barangsiapa yang bersalawat sekali bagi Rasulullah, Allah akan bershalawat 10 kali baginya.
Selain bershalawat, hendaknya disertai dengan pengajuan doa kepada-Nya. Waktu yang terdapat di antara azan dan iqamat, menurut sejumlah dalil disebut-sebut sebagai momen yang tepat untuk berdoa. Di waktu itu, Allah banyak mengabulkan doa.
Hal ini sebagaimana yang dikutip dari hadis Anas bin Malik. Menurut hadis riwayat Turmudzi itu, Rasulullah menegaskan bahwa tidak akan ditolak doa yang dibaca di antara dan azan dan iqamat.
Tak hanya saat azan. Ketika iqamat mulai diserukan oleh muazin, hendaklah wanita mengucapkan, “Semoga Allah mendirikan dan melanggengkannya.” (republika)
semoga bermanfaat....

Hukum meng'Qodho" Shalat Karena Haid

Avi bingung, ia memang agak menunda shalat maghribnya karena merasa tanggung dengan tugas sekolah yang sedang dirampungkannya. Ketika tugasnya selesai, ia bergegas ke toilet dan ternyata mendapati dirinya haid. Padahal tadi rasanya belum. Apakah Avi harus mengqodho sholat maghrib yang ditundanya tersebut, ataukah tidak? Bagaimana penjelasannya?
Ustadzah Latifah Munawaroh, MA., master syariah dari Universitas Kuwait memberikan penjelasannya seperti pernah lansiran alhusna;
Ibadah wajib dalam fiqh Islam dari segi waktunya dibagi menjadi dua jenis yaitu Ibadah Adaa’ dan Ibadah Qodho. Ibadah Adaa’ yaitu ibadah yang dilakukan sesuai waktu yang telah ditentukan, misalnya puasa Ramadhan diakukan pada bulan Ramadhan, shalat shubuh yang dilakukan pada waktu terbitnya fajar hingga terbitnya matahari. Sedangkan jika melakukan puasa Ramadhan setelah bulan Ramadhan selesai, misalnya seorang wanita yang haid pada Bulan Ramadhan, lalu ia berpuasa dan menggantinya pada bulan Syawal, maka ibadah ini disifati qodho, karena waktu yang ditetapkan sudah selesai.
Begitu pula jika seseorang melakukan sholat Maghrib pada waktu Isya misalnya. Ibadah sholat yang tertinggal dan tidak dilaksanakan oelh seseorang karena sengaja maka sholat yang ditinggalkannya ini wajib diqodho atau diganti. Sholat yang tertinggal ini akan menjadi hutang selama ia belum mengerjakan sholat pada waktu lain. Sama halnya bagi orang yang lupa sholat misalnya, karena kesibukan kerja, atau memang karena lupa sama sekali, maka atas dirinya hutang sholat harus diqodho dan dilakukan dengan segera pada waktu kapan saja. Bedanya antara yang meninggalkan sholat dengan sengaja dan yang meninggalkannya karena tertidur atau karena lupa, yang pertama berdosa karena meninggalkannya dengan sengaja, sedangkan yang kedua tidak berdosa. Keduanya wajib mengqodho. Bagi orang yang meninggalkan beberapa sholat diwajibkan mengqodho dan seyogyanya dilakukan secara tertib.
Misalnya seseorang yang meninggalkan sholat shubuh, dhuhur, ashar. Maka, ketika mengqodhonya secara tertib pula, yaitu ia mengqodho sholat shubuh dahulu, kemudian baru dzuhur, dst. Mengqodho ini juga seyogyanya dilakukan dengan segera. Mengqodho boleh dilakukan pada waktu kapan saja, misalnya seorang yang meninggalkan sholat maghrib, maka jika ingat pada waktu Isya, ia mengerjakan maghrib secara qodho terlebih dahulu, kemudian sholat Isya. Qodho maghrib tidak harus menunggu maghrib pada hari setelahnya.
Bagaimana dengan wanita yang haidh? Dalam hadits riwayat Bukhori Muslim, Aisyah berkata: Kami diperintah untuk  mengqodho puasa, dan tidak diperintah untuk mengqodho sholat. Jadi, tidak wajib mengqodho sholat yang ditinggalkan saat haidh,kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu raka’at sempurna, baik pada awal maupun akhir waktu sholat.
Contoh pada awal waktu: seorang wanita datang haidh setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan satu raka’at dari waktu (shalat maghrib). Maka, wajib baginya setelah suci mengqadha shalat maghrib tersebut .
Adapun contoh pada akhir waktu: seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih mendapat satu raka’at dari waktu (shalat shubuh). Maka, wajib baginya mengqodho sholat shubuh tersebut setelah bersuci.
Namun, jika wanita yang haid mendapatkan sebagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu raka’at sempurna, seperti datang haid sesaat setelah matahari terbenam atau suci dari haid sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya.
Berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori yang artinya:
“Barangsiapa mendapatkan satu raka’at dari sholat, maka dia telah mendapatkan shalat.”
Terdapat perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah ini. Ibnu Utsaimin berpendapat, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktu saja, yaitu shalat Ashar dan Isya’. Wallahu’alam
semoga bermanfaat...

Thursday, 3 November 2016

HUKUM MENIPISKAN ALIS MATA

Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang shalihah.” (HR Muslim dari Abdullah bin Amr).
ainunfiqihkontemporer.blogspot.com
Hukum Menipiskan Alis Mata

Pertanyaan: Apa hukumnya mempertipis rambut yang lebih pada alis mata?

Jawaban: Tidak boleh mengambil rambut alis mata dan juga tidak mempertipisnya, karena telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَنهُ لَعَنَ النامِصَةَ وَالمُتَنَمصَةَ
“Bahwa beliau melaknat wanita yang mencabut alis matanya dan wanita yang meminta untuk dicabut alis matanya.”

Dan para ulama menjelaskan bahwa mengambil rambut alis mata itu termasuk mempertipisnya. Begitu juga dengan merapikan alis, jika merapikan ini termasuk mencabut atau mencukur alis.
Mempertipis rambut alis mata dengan cara mencabutnya maka itu haram bahkan termasuk salah satu dosa besar karena termasuk kategori “nimsh” yang dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  👉Materi Pelajaran Anak Sekolah, Lengkap

Jika dengan cara dipotong atau dicukur maka hukumnya makruh oleh sebagian ulama dan dilarang oleh sebagian lainnya dan dijadikannya termasuk “nimsh,” dan berkata bahwa nimsh itu tidak khusus dengan mencabut saja, tapi itu umum pada semua hal yang merubah rambut yang Allah tidak rela jika ada di wajah.

Akan tetapi yang kami lihat bahwa selayaknya bagi wanita sehingga kami mengatakan boleh atau makruh mempertipisnya dengan cara dipotong atau dicukur hendaknya dia tidak melakukannya kecuali jika rambut itu banyak sekali di atas alis mata, sehingga sampai menutupi mata dan mengganggu penglihatannya maka tidak apa-apa dia menghilangkannya. Wallahu a’lam.

Sumber:
§  Al-Fatawa -kitab ad-Dakwah 2/229 karya Syeikh bin Baz.
§  Kumpulan Fatawa dan Rasa’il Syeikh Ibnu Utasaimin 4/133.

Klik Ikuti untuk mendapatkan lebih banyak materi